Sekitar dua bulan lalu, tepatnya 5-12 Mei 2019 merupakan hari-hari yang begitu sulit untuk saya lupakan. Tidak disadari, diskusi kecil tentang pendidikan di meja kantor saat itu tenyata mampu membawa saya merasakan berbagai pengalaman baru bagi kehidupan saya selama ini. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Benua Eropa, tepatnya di negara Jerman, yang tidak disangka bersuhu 6 derajat Celcius pada siang hari, membuat saya tetap menggigil kedinginan walaupun sudah menggunakan baju berlapis. Kemarin adalah pertama kali saya mengikuti seminar yang lebih didominasi oleh diskusi kelompok daripada penyampaian materi. Hal yang benar-benar diluar ekspektasi saya adalah hampir semua peserta aktif bertanya serta mengemukakan pendapat, sehingga suasana diskusi menjadi begitu seru untuk diikuti.
Seminar yang saya ikuti di International Academy for Leadership (IAF) Gummersbach ini memiliki judul besar Education in Crisis: a liberal way forward. Kegiatan ini dipandu oleh dua fasilitator hebat dari Friedrich Naumann Foundation (FNF), Dr Stevan Melnik dan Alevtina Sedochenko, dengan peserta berjumlah 21 orang yang berasal dari 16 negara yang berbeda. Hari pertama seminar bertepatan dengan hari pertama Ramadhan, yang juga menjadi pengalaman perdana saya untuk berpuasa di negeri orang. Walaupun sedikit berat karena harus berpuasa dan menjalankan kegiatan yang padat selama di sana, saya sangat bersyukur dan banyak mengambil pelajaran berharga. Pada hari pertama seminar, saya sudah dibuat tercengang dengan berbagai materi, istilah, dan argumen tentang pendidikan yang belum pernah saya dengar sebelumnya; saya merasa nervous sekaligus excited.
Sesi seminar dengan pembicara |
Seminar ini memberikan banyak wawasan baru untuk saya terutama di bidang pendidikan. Salah satu poin penting yang disampaikan selama kegiatan adalah terkait 21st century learning skills yaitu 4C (Critical thinking, Creativity, Communication and Collaboration). Kabarnya prinsip ini telah diperkenalkan dan diimplementasikan dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Saya yakin, jika guru dan murid dapat menerapkan 4C dalam kegiatan belajar mengajar, murid bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai yang bagus selama ujian, tetapi untuk belajar dan berpikir kritis tentang hal-hal yang mereka pelajari di sekolah. Selain itu, guru juga bukan hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator bagi murid sehingga mereka bisa berpikir kritis dan kreatif. Hal lain yang saya sukai dari seminar ini adalah ketika peserta diberi kesempatan untuk mempelajari sekaligus mempraktikkan prinsip 4C secara langsung. Di sana, saya diajak untuk berpikir kritis tentang isu-isu pendidikan, lalu belajar kreatif dengan menggunakan media kertas untuk menyampaikan ide dan mempresentasikannya kepada peserta lain, kemudian berkolaborasi untuk memecahkan suatu masalah.
Presentasi hasil diskusi |
Begitu banyak isu tentang pendidikan yang dibahas selama seminar ini, dimulai dari sentralisasi pendidikan yang berlebihan, akses dan peluang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, kurikulum sekolah yang sebaiknya diterapkan, kondisi kualitas guru yang beragam, hubungan antara permintaan pasar dengan lulusan sekolah, hingga membahas tentang edupreneurship dan perkembangan sekolah swasta di berbagai negara. Hal yang menarik perhatian saya adalah tentang isu kualitas guru. Kualitas guru dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya pendapatan guru yang rendah, tidak adanya support dari orang terdekat, hilangnya motivasi guru untuk mengikuti pelatihan tentang hal-hal baru yang terkait dengan pengajaran atau hal lainnya sehingga profesi guru disebut “frozen in time”.
Istilah “frozen in time” menggambarkan metode mengajar guru yang selalu sama secara terus-menerus dan tidak up to date dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, serta cenderung menolak perubahan-perubahan yang sebetulnya dibutuhkan untuk meningkatkan keterampilan. Hal ini mengingatkan saya tentang perkataan Dr Sascha Tamm yang membahas konsep lifelong learning di hari pertama seminar. Beliau menyampaikan bahwa sebagai manusia, kita belajar sepanjang hayat, entah untuk kebutuhan pribadi ataupun profesional. Hal ini sangat penting untuk diingat, terutama bagi guru atau pengajar, karena ilmu pengetahuan terus diperbaharui sehingga skill guru juga harus terus diperbaharui. Pengajar tidak boleh mudah merasa puas dengan ilmu yang telah dicapai. Kegiatan mengajar juga tidak hanya dijadikan sebagai pekerjaan untuk mendapatkan gaji atau insentif dari sekolah tetapi juga harus menjadi proses transfer ilmu dari guru ke murid yang sesuai dengan perkembangan zaman. Guru seharusnya tidak lagi menggunakan metode yang digunakan sepuluh tahun lalu untuk mengajar murid masa kini. Konsep ini pun memotivasi saya agar terus belajar hal-hal baru dan tidak mudah puas dengan apa yang telah saya capai. Belajar sepanjang hayat akan membuat saya lebih siap dengan tantangan-tantangan baru serta dapat meningkatkan kemampuan kerja saya.
Hal menarik lainnya adalah saat sesi yang disampaikan oleh Professor James Tooley, profesor dari University of Newcastle Upon Tyne dan Ekta Sodha, seorang CEO sekolah swasta di India. Mereka menyampaikan tentang edupreneurship dan peran low cost private school di daerah yang sulit terjangkau. Prof Tooley bercerita tentang kisahnya mendatangi berbagai sekolah swasta di tempat-tempat konfik atau sulit dijangkau, serta bagaimana beliau membangun sekolah swastanya sendiri. Sedangkan Ekta Sodha bercerita bagaimana perjuangannya merevolusi sistem di sekolahnya yang menyebabkan banyak guru keluar meninggalkan sekolahnya serta bagaimana sistem baru yang telah disusun oleh Ekta bisa membuat sekolahnya menjadi salah satu sekolah terbaik di India. Cerita yang disampaikan oleh para pembicara betul-betul membuka pikiran saya tentang bagaimana perjuangan mereka untuk membangun dan merevolusi sistem pendidikan yang ternyata tidaklah mudah. Semangat juang serta passion mereka betul-betul memotivasi saya.
Bagian paling asik, jalan-jalan! :D |
Terima kasih banyak kepada IAF dan FNF Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya, pemuda dari Kabupaten Wonosobo, untuk mendapatkan banyak pengalaman berharga, meningkatkan kapasitas diri, dan memotivasi saya untuk terus belajar sepanjang hayat serta berbagi ilmu kepada orang lain. Seminar Education in Crisis telah memperkaya prespektif saya tentang pendidikan. Melalui kegiatan ini, saya juga belajar tentang berbagai isu pendidikan dari negara-negara lain, yang bisa dijadikan masukan untuk membuat sistem pendidikan di Indonesia, khususnya Wonosobo lebih baik lagi.